Studi Kasus Pada Produk
Johnson & Johnson
Johnson & Johnson merupakan perusahaan manufaktur yang
bergerak dalam pembuatan dan pemasaran obat-obatan serta alat kesehatan lainnya
di banyak negara di dunia.
Tylenol adalah obat rasa nyeri yang di produksi oleh McNeil
Consumer Product Company yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson
& Johnson. Tingkat penjualan Tylenol sangat mengagumkan dengan pangsa pasar
35% di pasar obat analgetika yaitu obat peredam nyeri, atau setara dengan 7%
dari total penjualan grup Johnson & Johnson.
Pada hari kamis tgl 30 September 1982, laporan mulai
diterima oleh kantor pusat Johnson & Johnson bahwa adanya korban meninggal
dunia di Chicago setelah meminum kapsul obat Extra Strength Tylenol. Kasus
kematian ini menjadi awal penyebab rangkaian krisis management yang telah
dilakukan oleh Johnson & Johnson. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan
mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah
diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. J&J segera
menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti
mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut, meski penyelidikan masih
dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab,. J&J bekerja sama
dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOM-nya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu.
Hasilnya membuktikan bahwa keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang
memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam
kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung
jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus
yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol
dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera
kembali menjadi pemimpin pasar.
Johnson & Johnson memberitakan semua proses produksi dan
quality control-nya ke public, tidak hanya pada penyidik. Dalam dua atau tiga
hari saja, semua inventaris Tylenol ditarik dari semua rak supermarket dan
drugstores secara nasional, dan semua produksi Tylenol berhenti. Karena
karyawan dan pekerja tidak bersalah, mereka tetap mendapat gaji. J&J
kemudian segera menciptakan sistem packaging yang lebih aman namun jauh lebih
mahal pada saat itu, tanpa menaikkan harga (alias mengorbankan profit). Banyak
lagi jurus ampuh yang dia gunakan, tetapi saya lupa.
Kesimpulan. J&J tidak akan pernah lari dari
tanggung-jawab pada publik, dan secara pro-aktif memperbaiki peri-lakunya
sendiri, meski indikasinya kemudian mulai mengarah ke tindakan usil, dan bukan
kebocoran kualitas di pabrik-pabrik Tylenol. J&J menjadi produsen consumer
goods dan pharmaceutical company yang paling profitable dalam sejarah.
Saran. Dalam etika bisnis apabila perilaku mencegah pihak
lain menderita kerugian dipandang sebagai perilaku yang etis, maka perusahaan
yang menarik kembali produknya yang memiliki cacat produksi dan dapat
membahayakan keselamatan konsumen, dapat dipandang sebagai perusahaan yang
melakukan perilaku etis dan bermoral.
Sumber : https://docs.google.com/document/d/1dphvBV-
*Indonesia
Sabtu, 09 Februari 2013
PELANGGARAN ETIKA BISNIS-PRODUKSI : Studi Kasus Pada PT.
Megasari Makmur
Perjalanan obat nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi
oleh PT Megasari Makmur yang terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa
Barat. PT Megasari Makmur juga memproduksi banyak produk seperti tisu basah,
dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat nyamuk HIT juga mengenalkan dirinya
sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh untuk kelasnya. Selain di
Indonesia HIT juga mengekspor produknya ke luar Indonesia.
Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur
dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan
Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia.
Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi
di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan
manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan,
gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah
ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga
Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya
di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A
(jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan
Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan
Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah
tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah
menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Namun demikian, karyawan perusahaan-perusahaan besar tidak
dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama
itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan
perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar
tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang
turut dia bantu. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam
organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan
tanggung jawab moral orang itu.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan
pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran. Perusahaan besarpun berani
untuk mengambil tindakan kecurangan untuk menekan biaya produksi produk. Mereka
melakukannya hanya untuk mendapatkan laba yang besar dan ongkos produksi yang
minimal. Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan
zat berbahaya dalam produknya. Dalam kasus HIT sengaja menambahkan zat
diklorvos untuk membunuh serangga padahal bila dilihat dari segi kesehatan
manusia, zat tersebut bila dihisap oleh saluran pernafasan dapat menimbulkan
kanker hati dan lambung.
Dan walaupun perusahaan sudah meminta maaf dan juga
mengganti barang dengan memproduksi barang baru yang tidak mengandung zat
berbahaya tapi seharusnya perusahaan juga memikirkan efek buruk apa saja yang
akan konsumen rasakan bila dalam penggunaan jangka panjang. Sebagai produsen
memberikan kualitas produk yang baik dan aman bagi kesehatan konsumen selain
memberikan harga yang murah yang dapat bersaing dengan produk sejenis lainnya.
Kesimpulan. Pelanggaran Prinsip Etika Bisnis yang dilakukan
oleh PT. Megarsari Makmur yaitu Prinsip Kejujuran dimana perusahaan tidak
memberikan peringatan kepada konsumennya mengenai kandungan yang ada pada
produk mereka yang sangat berbahaya untuk kesehatan dan perusahaan juga tidak
memberi tahu penggunaan dari produk tersebut yaitu setelah suatu ruangan
disemprot oleh produk itu semestinya ditunggu 30 menit terlebih dahulu baru
kemudian dapat dimasuki /digunakan ruangan tersebut.
Saran. Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada
dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja
pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan keselamatan
konsumen yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan keselamatan
konsumen diatas kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena kepercayaan / loyalitas konsumen
terhadap produk itu sendiri. PT Megarsari harusnya memberikan ganti rugi kepada
konsumen karena telah merugikan para konsumen. PT Megarsari harusnya menarik
semua produk HIT yang telah dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk
memproduksi produk HIT Aerosol Baru dengan formula yang bebas dari bahan kimia
berbahaya.
http://nildatartilla.wordpress.com/2013/02/09/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis-oleh-pt-megasari-makmur/
*Indonesia
Kamis, 17 Desember 2009
PELANGGARAN ETIKA BISNIS-PRODUKSI : Studi Kasus Maraknya
Peredaran Makanan dengan Zat Pewarna Bahaya
DEPOK - Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Kota Depok
menyebutkan, sebanyak tujuh pasar tradisional di Depok terbukti menjual bahan
pangan yang mengandung zat berbahaya. Sebelum diuji, Dinkes mengambil sample di
puluhan pedagang di pasar tradisional dengan menggunakan enam parameter bahan
tambahan yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow (pewarna tekstil),
siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan.
Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan
Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan, enam parameter tambahan pangan berbahaya
tersebut dilarang digunakan untuk campuran makanan lantaran akan menyebabkan
penyakit kanker dalam jangka panjang serta keracunan dalam jangka pendek.
"Harus nol sama sekali seluruhnya, karena sangat berbahaya bagi kesehatan.
" Ujar Yulia kepada okezone, Sabtu (3/10/2009).Yulia menambahkan, makanan
yang dijual para pedagang di pasar dan terbukti menggunakan bahan tambahan
pangan berbahaya di antaranya, mie basah, bakso, otak-otak, kwetiau, tahu
kuning, pacar cina, dan kerupuk merah. "Yang paling parah ada kerupuk
merah atau kerupuk padang yang biasa digunakan di ketupat sayur, itu ada di lima
pasar, dan terbukti menggunakan rodhamin atau pewarna tekstil," paparnya.
Langkah selanjutnya, kata Yulia, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pedagang
untuk dibina mengenai keamanan pangan dan makanan jajanan sehat. Setelah itu,
baru diterapkan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dan Keamanan Pangan. Sanksinya bisa berupa kurungan penjara.
Tujuh pasar yang terbukti menjual pangan mengandung bahan
tambahan pangan berbahaya diantaranya, Pasar Musi, Dewi Sartika, Mini,
Sukatani, Cisalak, Kemiri Muka, dan Depok Jaya. Sebagian di antaranya, berasal
dari produsen di daerah Depok maupun Bogor.
Keberadaan peraturan daerah (perda) tentang makanan dan
minuman yang diperbolehkan dijual di kantin sekolah tidak menjamin hilangnya
praktik-praktik ilegal penambahan zat campuran pada makanan anak-anak itu.
Karena itu yang harus dikedepankan adalah penegakan payung hukum yang sudah
ada. "Regulasi itu sudah ada, baik dalam bentuk undang-undang ataupun
peraturan menteri. Yang perlu adalah penegakan hukumnya," ujar Walikota
Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6/2009). Lontaran Nur
Mahmudi merespons atas wacana perlunya dibuat perda khusus tentang jajanan di
sekolah lantaran maraknya praktik penambahan bahan tambahan makanan yang berbahaya
dalam jajanan sekolah. Nur Mahmudi menjelaskan, Menteri Kesehatan pada tahun
1987 telah mengeluarkan peraturan tentang bahan-bahan yang boleh digunakan
sebagai bahan makanan tambahan. Karena itu, pemerintah tinggal melakukan
pembinaan kepada produsen maupun konsumen. Yang menjadi tantangan, tambah Nur
Mahmudi, adalah melakukan pengawasan terhadap para produsen. Jika industri
makanan tersebut legal, dalam artian alamat pabriknya jelas dan memiliki izin
usaha, maka pemerintah bisa dengan mudah melakukan pembinaan. "Yang jadi
masalah kalau produk itu tidak berlabel, tidak beralamat, maka perlu kerja
keras dari berbagai pihak," katanya. "Untuk sementara kita pilih anak
SD karena ini bagian dari upaya menyelamatkan generasi ke depan," jelasnya.
Dinas Kesehatan Depok beberapa hari lalu melakukan
pengambilan sampel jajanan ke 30 kantin SD di Kota Depok. Hasilnya 30 persen
sampel positif mengandung boraks, 16 persen mengandung formalin, tiga persen
mengandung siklamat, metanil yellow, dan rodamin. Untuk bahan boraks umumnya
ditemukan pada produk krupuk putih, bakso, dan nuggets. Sementara zat formalin
ditemukan pada nugget dan mie. Zat siklamat yang jumlahnya melebihi takaran ada
pada produk es sirup dan es mambo. Untuk zat metanil yellow (pewarna kuning)
dan rodamin (pewarna merah) atau yang lebih dikenal sebagai pewarna tekstil
ditemukan pada permen karet.
Kesimpulan. Terdapat enam parameter bahan yang ditambahan ke
dalam makanan/ minuman yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow
(pewarna tekstil), siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan. Ke
depannya, Nur Mahmudi berjanji pemeriksaan jajanan di Depok tidak hanya
terbatas pada jajanan anak SD saja. Tapi juga akan merambah kantin-kantin di
perkantoran.
Saran. Perlu adanya sadar diri didalam hati para produsen
makanan dan minuman yang akan menjual produknya ke pasaran, harus adanya
penerapkan etika didalam bisnis agar tidak adanya kecurangan atau kebohongan
yang terjadi pada perusahaan produsen itu nantinya dan perlu diterapkannya
sanksi atau hukuman yang berat apabila ada salah satu produsen yang
melanggarnya, sehingga etika di dalam bisnis pun dapat berjalan dengan baik dan
lancar di perusahaan tersebut.
http://pipitindriani.blogspot.com/2009/11/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html
PELANGGARAN ETIKA PEMASARAN
*Indonesia
Selasa, 06 September
2011
PELANGGARAN ETIKA BISNIS-PEMASARAN : Studi Kasus Pada Susu
Formula
VHRmedia, Jakarta - Belum ada produsen susu formula di
Indonesia yang menerapkan aturan pemasaran susu pengganti air susu ibu (ASI)
sesuai Kode.
Hal itu dikatakan Chairwoman Indonesia Breastfeeding Center,
Utami Roesli. Menurut dia, Kode adalah aturan internasional yang melarang
produsen susu formula mempromosikan produk pengganti ASI secara langsung kepada
masyarakat. Misalnya promosi melalui tenaga medis, telepon langsung kepada
konsumen, atau memberikan sampel susu formula dalam acara-acara seminar.
“Sejauh pandangan saya, belum ada produsen susu formula yang
menerapkan Kode di Indonesia,” kata Utami
Roesli, seusai diskusi mengkritisi teknik pemasaran susu formula untuk
bayi, di Jakarta, Rabu (9/6). Agus Pambagyo dari Koalisi Advokasi ASI
mengatakan, jumlah pelanggaran kode etik pemasaran susu formula paling banyak
terjadi di Indonesia. “Ini yang harus ditindak, jika kita ingin memiliki
generasi penerus yang lebih cerdas, sehat, dan berakhlak baik.”
Menurut David Clark, Nutrition Specialist Legal Unicef, Kode
dibutuhkan untuk meningkatkan konsumsi ASI pada bayi. Konsumsi ASI yang tidak
optimal terutama pada usia 0-6 bulan bisa mengakibatkan kematian bayi. David
mengatakan, bahwa kekurangan ASI meningkatkan risiko bayi terkena diabetes,
infeksi telinga, IQ rendah, atau
serangan kanker payudara bagi ibu.
Kesimpulan. Dari kasus di atas ,seharusnya produsen dari
susu formula tidak membuat pengganti dari ASI karena menurut David Clark,
Nutrition Specialist Legal Unicef konsumsi ASI pada usia 0-6 bulan dapat
menyebabkan kematian bayi ,diabetes ,infeksi telinga ,IQ rendah dan akibat
lainnya.
Saran. Sebaiknya produsen membuat produk yang tidak
menggantikan ASI tetapi membuat susu formula untuk bayi yang berusia 6bulan
keatas. Seharusnya, pemerintah membuat peraturan tentang kewajiban untuk para
Ibu, agar memberikan ASI ekslusif kepada bayinya pada usia 0-6 bulan.
http://yudhalimiyana.blogspot.com/2011/04/kasus-pelanggaran-etika-pemasaran.html
*Indonesia
Jumat, 06 September
2011
PELANGGARAN ETIKA BISNIS-PEMASARAN : Studi Kasus Pada Rumah
Makan Siap Saji tentang Pemakaian Angciu dan Minyak Babi
Jaringan rumah makan siap saji asal Indonesia. Restoran ini
menyajikan makanan khas Indonesia seperti nasi goreng, mi goreng, kwetiau
goreng, dan masih banyak lagi. Saat ini sudah terdapat lebih dari 50 gerai di
kota-kota di Indonesia. Isu mengenai penggunaan angciu dan minyak babi di
restoran “S” ternyata masih merebak. Meskipun sudah dibantah oleh manajemen
“S”, kabar fiktif itu terus bergulir di media sosial.
Inilah kisah dosen akuntansi salah satu universitas negeri
tentang restoran “S” yang tidak memiliki sertifikasi halal dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI) itu. “Ada kerabat yang
mau beli franchise “S”. Tapi ketika mau bikin kontrak perjanjian, ternyata
pihak pemilik franchise mewajibkan penggunaan angciu (arak) dan minyak babi
dalam beberapa masakan,” ujarnya.
Tapi, kata Prof, jawaban pemilik franchise sungguh arogan
dan mencengangkan. Menurut pemilik franchise, “S” mewajibkan menunya
menggunakan minyak babi dan angciu.
”Di sini (“S”) wajib pakai itu. Lagian kita gak pakai label
halal kok. Kalau gak mau ya sudah,” ujar pihak “S” sebagaimana diungkap Prof.
Sementara PT “SS” selaku perusahaan yang membawahi restoran ini membantah hal
tersebut. “Isu yang berkembang itu tidak benar. Minyak-minyak kami memakai
brand-brand halal. Semua makanan kami halal,” kata Operational Manager “S”,
Namun ia membenarkan bahwa sampai saat ini perusahaan belum mempunyai
sertifikasi halal dari MUI.
Saat ini perusahaan sedang mengumpulkan
sertifikat-sertifikat dari para supplier. “Supplier kita kan banyak, kita
sedang kumpulkan sertifikatnya sebagai syarat mengurus ke MUI,” katanya.
Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) membenarkan
restoran “S” belum mengantongi sertifikat halal. “Maka, bersama ini disampaikan
bahwa MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia belum pernah melakukan pemeriksaan atas produk makanan/minuman
dan atau mengeluarkan sertifikat halal untuk restoran “S” di mana pun,” tulis
MUI di situs resminya Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemilik
bisnis “S” salah? Yang salah utamanya adalah bila ada pebisnis Muslim yang
tutup mata dan tetap mengambil bisnis ini. Lebih salah lagi adalah para Muslim
yang sudah tahu info ini tetapi juga tutup mata dan makan di sana.
Kesimpulan. Etika bisnis belum dijalankan secara maksimal,
baik dilihat dari etika promosi maupun keadilan konsumen. Majelis Ulama
Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI) membenarkan restoran “S” belum mengantongi
sertifikat halal. Saat ini perusahaan sedang mengumpulkan sertifikat-sertifikat
dari para supplier. Meski Muslim di negeri ini mayoritas, tetap tidak bisa
memaksa pihak pengusaha rumah makan harus memakai label halal dan atau harus
seperti yang kaum Muslimin inginkan.
Saran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau restoran atau
rumah makan yang belum bersertifikasi halal agar segera mengajukan sertifikasi
halal. Untuk berhati-hati sebaiknya masyarakat muslim Indonesia menahan diri
terlebih dahulu sampai sertifikasi halal dikeluarkan. Untuk para pengusaha
restoran yang menggunakan barang-barang yang haram dalam pandangan Islam,
hendaklah mencantumkan label mengandung babi atau mengandung arak dan
seterusnya pada rumah makannya. Jika pengusaha tidak mengindahkan anjuran
tersebut, ada baiknya ormas-ormas Islam yang bergerak, dengan memberi label
yang sangat besar dan menempelkanya di tempat usaha yang haram tersebut dengan
label mengandung babi atau angciu atau lainnya yang mengharamkan.
http://salam-online.com/2013/08/diprotes-gunakan-angciu-minyak-babi-jawaban-solaria-dinilai-arogan.html#sthash.MY1XNArb.dpuf
*Luar Negeri
Jumat, 24 September 2010
PELANGGARAN ETIKA BISNIS-PEMASARAN : Studi Kasus Pada Produk
Indomie di Taiwan
Menjelang dibukanya persaingan pasar bebas, Akhir-akhir ini
makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis atau etika
dalam berbisnis. Hal ini sangat penting diperhatikan dalam melakukan kegiatan
bisnis dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing
untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam kegiatan bisnis ini
persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh
keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar
peraturan yang berlaku.
Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan
produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah
serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya. Kasus Indomie yang
mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid
(asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat
kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk
menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga
untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Description:
http://pandji99.files.wordpress.com/2011/09/indomie.jpg?w=645
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi
IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM
untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa
hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadi, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A. Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik
menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang
membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat
berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa
benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam
mie instan tersebut, tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam
batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman
untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg
nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex
Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Kesimpulan. Dari pembahasan diatas terdapat beberapa faktor
yang menjadikan produk Indomie dilarang dipasarkan dinegara Taiwan. Beberapa
faktor diantaranya adalah harga yang di tawarkan, bahan dasar atau zat pengawet
yang digunakan dan aturan standarisasi. Jika dari harga, harga yang ditawarkan
indomie lebih murah dibanding dengan makanan sejenis dengan kualitas yang sama,
serta zat pengawet atau bahan pengawet yang digunakan indomie dikatakan
berbahaya karena telah melebihi standar pemakaian di Taiwan, namun menurut
Ketua BPOM Kustantinah kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas
wajar dan aman untuk dikonsumsi. Sedangkan aturan Negara masing-masing yang
memiliki pandangan berbeda, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional
tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan
merupakan anggota Codec.
Saran. Indomie harus lebih professional dalam menjalankan
bisnis, bukan hanya untuk mencari keuntungan dari segi ekonomi, tetapi harus
juga menjaga etika dan moralnya di masyarakat Internasional yang menjadi
konsumen perusahaan tersebut, serta harus mematuhi peraturan-peraturan yang
dibuat sesuai dengan peraturan Negara yang menjadi tempat penjualan. Dengan
mengindahkan etos dan etis bisnis, aturan-aturan, norma-norma serta nilai moral
yang berlaku dalam bisnis yang baik maka kepercayaan konsumen terhadap
perusahaan tetap terjaga.
http://novrygunawan.wordpress.com/2010/11/